Ada beberapa kasus mengenai fenomena media konvergensi di Indonesia, sebut saja MetroTV online, Kompas online
dan radio streaming. Dari beberapa contoh yang saya sebut ada satu hal
yang menurut saya sangat menarik, yaitu kasus radio GenFm Surabaya.
Sedikit perkenalan, radio ini merupakan radio lokal yang siarannya dapat
diakses dan di unduh secara real time dan online.
Seperti yang telah saya terangkan sebagai contoh diatas bahwa GenFm
Surabaya mengalami sebuah fenomena yang beranjak dari sebuah radio lokal
menuju pada sebuah radio global. Perubahan ini tentu saja sudah tidak
dapat lagi dapat diikat oleh regulasi penyiaran yang ada. Radio Suara
Surabaya sudah mulai bergeser pada teknologi digital dengan sifatnya
yang global dan otomatis regulasi yang ada sudah tidak dapat lagi
mengikutinya, apalagi terbentur dengan kebijakan global.
Media TV juga sudah menerapkan hal serupa dimana teknologi digital
akan membawa pada sebuah fenomena penyiaran digital yang memudahkan
media tersebut diakses. Saya dapat mencontohkan bahwa Nokia sudah
mengantisipasi hal ini dengan mengeluarkan tipe mobile phone dengan reciever
sinyal televisi yang menggunakan freqwensi DVB-H, sehingga siaran
televisi digital dapat diakses secara instant, dan hal ini sudah dimulai
3 tahun lalu ketika Nokia merilis seri N92 dengan menggandeng RCTI dan
SCTV sebagai pioneer di bidang DVB-H broadcast. Disini
dapat dicontohkan bagaimana seluler yang sifatnya sangat personal dapat
dikonvergensikan dengan media televisi yang sifatnya publik.
Keadaan ini pada dasarnya sedang berusaha diikuti pemerintah dengan
berbagai macam langkah dalam mengeluarkan regulasi dan undang-undang
penyiaran, namun hal tersebut tidaklah cukup memadai dalam mengikuti
pergeseran teknologi yang diikuti oleh pergeseran media. Namun masalah
selalu hadir kembali disaat teknlogi informasi dan komunikasi baru hadir
kembali. Secara sederhana dapat saya contohkan dengan peraturan
telekomunikasi WCDMA dan HSDPA (3G dan 3,5G) yang ada sekarang tidak
akan dapat mengikuti teknologi yang akan datang di kemudian hari seperti
hadirnya WiMax yang mempunyai scope interaktifitas yang lebih
luas dan lebih cepat. WiMax memberikan sebuah kesempatan pada khalayak
untuk terkoneksi secara global dan masif, dan secara konsep meniadakan
batasan dan jangkauan. Inilah yang sebenarnya memerlukan sebuah regulasi
khusus mengatur berkaitan dengan kebebasan dan akses publik terhadap
media konvergensi.
Baik media yang bersifat personal maupun publik mengalami pergeseran
teknologi sehingga memaksa pemerintah harus selalu menyusun ulang
regulasi. Pemerintah dalam beberapa hal juga sudah menetapkan
regulasi-regulasi baru di bidang penyiaran, sebut saja UU no. 32 / 2002
yang mengatur regulasi penyiaran di Indonesia namun pada saat itu
ditetapkan teknologi digital belum berkembang seperti pada saat ini,
apalagi di saat dimana RUU-nya disusun. UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran:
- Bahwa penyiaran TV dan radio harus memiliki IPP (pasal 33 ayat 1).
- Lembaga Penyiaran Swasta hanya dapat menyelenggarakan 1 siaran dengan 1 saluran siaran pada 1 Cakupan wilayah siaran (pasal 20) sehingga tidak relevan lagi pada era penyiaran digital karena penyiaran digital sifatnya adalah banyak siaran pada 1 saluran siaran di 1 cakupan wilayah siaran.
Terdapat juga UU no. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang
mengatur: setiap penyelenggaraan pelekomunikasi harus mendapatkan izin
dari pemerintah (pasal 11) dan salah satu bentuk penyelenggaraan
telekomunikasi adalah penyelenggaraan jaringan telekomunikasi (pasal 7).
UU ini bahkan sama sekali tidak menyentuh penyiaran dengan lebih jauh
sehingga sudah sangat tidak relevan dan efisien dalam penggunaanya,
namun ada satu hal menarik dalam UU ini adalah peraturan penyelenggaraan
jaringan tertutup yang akan ditur kemudian pada pasal 33 KM 20 / 2001.
Sepertinya regulasi mengenai pengadaan infrastruktur tetap masih akan
berpatokan pada UU no. 36 / 1999 ini.
Pemerintah juga memutuskan dan melakukan sebuah tindakan dengan
menyusun dan disahkannya Undang undang Informasi Transaksi Elektronik
(UU ITE) oleh DPR tanggal 25 Maret 2008 oleh DPR mengenai aturan-aturan
yang berkaitan dengan keberadaan Internet yang menurut saya hanya bisa
mengikat kasus-kasus yang terkait pada teknologi web 1.0 dan bukan pada
penerusnya web 2.0.
Melihat hal ini kita seharusnya sadar bahwa regulasi penyiaran tahun
2002 sudah mulai dipertanyakan keefektifannya dan sudah saatnya menyusun
sebuah rencana baru untuk pengaturan penyiaran di Indonesia. Hal
tersebut mengingat bahwa UU no. 32 / 2002:
- Tidak membicarakan adanya antisipasi perpindahan sistem analog kepada sistem digital. Pada prakteknya saat ini hampir semua perangkat mulai mendukung dan menggunakan fasilitas digital.
- Tidak tertuang bagaimana media dapat berkonvergensi dengan teknologi telekomunikasi yang memungkinkan adanya feedback dan partisipasi langsung.
- Media konvergensi menawarkan dan melakukan semua yang belum bisa dilakukan media konvensional. (dalam konteks media massa).
Pada kenyataanya pemerintah juga tidak menutup mata tentang hal ini.
Langkah pemerintah yang paling tidak saat ini mulai terlihat adalah
dengan mulai menyusun peraturan dan regulasi untuk media TV digital
dengan adanya Kepmen no.7 21 Maret 2007 yang berisi penetapan DVB-T
sebagai standar penyiaran nasional (DVB-T ini juga sistim yang dipakai
di Eropa)
0 komentar:
Posting Komentar